Banda Aceh – Polemik data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menempatkan Aceh termiskin di Pulau Sumatera terus menuai pro dan kontra dikalangan masyarakat.
Sejumlah pihak tidak percaya dan condong meragukan validasi data tersebut. Tak sedikit pula yang setuju dengan publikasi BPS, karena berbagai indikator bisa secara gamblang dilihat dilapangan bahwa rakyat Aceh memang masih banyak miskin.
Berdasarkan rilis BPS Aceh bahwa kemiskinan Aceh September 2020 disebutkan Penduduk Miskin Aceh mencapai 833,19 ribu jiwa atau (15,43%) dan Garis Kemiskinan: Rp 524.208,- per kapita. Kemudian, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1): 2,847 dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2): 0,831 serta Gini Ratio: 0,319.
Persentase pendudukan miskin menurut perkotaan dan perdeseaan Maret 2019-September 2020 diperkotaan sebasar 10,31 % dan diperdesaan 17,96 %. Ini menunjukan tingkat kemiskinan yang paling parah di perdesaan.
Ini adalah data dan fakta (evidance based). Karena BPS mempunyai variable dan indikator yang sangat jelas dalam penelitian tingkat kemiskinan di seluru Indonesia, termasuk Aceh. Yang jelas telah diuji validitas dan reliabilitas alat ukur.
Terkait dengan polemik tersebut, Pengamat Ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala, Dr Amri SE MSi menegaskan bahwa data yang dikeluarkan oleh lembaga resmi seperti BPS Aceh adalah data valid dan tidak perlu diragukan keabsahannya.
“Data BPS itu sangat valid, semua orang menggunakan data BPS karena data tersebut menyangkut pembangunan ekonomi atau tingkat kesejahteraan rakyat misalnya pertumbuhan ekonomi, pemerataan ekonomi, tingkat pengangguran dan jumlah penduduk, dll. Siapa saja menggunakan dan itu bukan data politis,” tegas Dr. Amri pada media ini, Selasa 2 Maret 2021.
Menurut Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK itu, data BPS bukanlah data politis. Seluruh lembaga semisal Bappenas dan perorangan mengggunakan data statistik, termasuk Presiden RI.
“Yang penting kita sepakati dulu bahwa itu data BPS adalah data Valid. Masalah dipakai untuk menjatuhkan lawan politik itu adalah hak orang. Yang jalas ini data benar,” ungkap Amri.
Menurut Amri banyak hasil penelitian di seluruh dunia tentang asal usul seperatisme lahir dari komplik ekonomi (tingkat kemiskinan) yang harus dipahami bersama.
Itu sebabnya, untuk menuntaskan persoalan tersebut yang harus dilakukan adalah dengan memperbaiki kebijakan pemerintah daerah yang menyangkut perencaanna pembangunan dan penganggaran uang negara fokus untuk penentasan kemiskinan di 23 kabupaten dan kota di provinsi Aceh (terukur).
Kenyataan hari ini, sejak 2008 hingga 2020 Aceh mengantongi Dana Otonomi Khusus Rp. 80,881 triliun. Namun Aceh masih menjadi daerah termiskin pertama di Sumatera atau peringkat 6 termiskin di Indonesia.
Dana yang begitu besar yang dikhususkan oleh pemerintah Indonesia bagi Pemerintah Aceh belum mampu menekan angka kemiskinan.
Menurut Amri APBA sedikit mengarah pada sektor pertanian, perikanan, dan perkebunan. Padahal, umumnya masyarakat Aceh hidup di tiga sektor tersebut. Amri menengaskan jika tidak memperhatikan ke tigas ektor tersebut maka angka kemiskina akan terus naik.
”Uang banyak masuk ke Aceh. namun, tingkat kemiskinan akan tetap tinggi,” terang Amri.
Disamping itu, Amri menduga dana refocusing Rp.2,3 triliun diduga juga tidak tetap sasaran untuk pengentasan kemiskinan, sehingga menyebabkan tingkat kemiskinan terus naik.
“Saya melihat kondisi kemiskinan Aceh akan terus berlanjut di tahun 2021 hingga 2022 mendatang. Itu karena Pemerintah Aceh belum terlihat mengubah postur anggaran yang berpihak pada rakyat,” Mantan Sekretaris Magister Manajemen Program Pasca Sarjana Universitas Syiah Kuala Banda Aceh ini.
Nah, solusi yang ditawarkan Doktor Amri adalah anggaran tahun 2022 harus memihak kepada masyarakat umum atau fokus pada pengentasan kemiskinan (pro poor) yang meliputi bidang pertanian, perikanan dan perkebunan.
Kerena umumnya masyarakat Aceh hidup di sektor pertanian, dipinggir laut adalah perikanan serta di tengah-tengah perkebunan dan sektor UMKM di 23 kabupaten kota. Khusus untuk perkotaan semisal Banda Aceh dan Sabang adalah pariwisata. Aceh Besar dan Simeulue Peternakan.
Dia juga mengharapkan pada Pemerintah Aceh membuat perencanan pembangunan berdasarkan evidence based planing policy.
“Kalau anggaran 2022 memihak kepada masyarakat umum atau fokus pada pengentasan kemiskinan baru angka kemiskinan turun di tahun 2023. Kalau 2022 tidak mungkin lagi, karena APBA dan APBK seluruh Aceh telah disahkan dan terlihat tidak memihak kepada rakyat. Jadi mulailah menanam dulu baru petik hasil kemudian,” harap pria pemegang sertifikat Planning dan Budgeting dari Graduate Research Institute for Policy Studies (GRIPS), Tokyo, Jepang.
Discussion about this post