Diskusi publik Aceh bahkan nasional saat ini didominasi oleh pembicaraan berbagai dinamika proses hukum yang terjadi pada kasus pemerkosaan pada anak.
Kontroversi pun muncul setelah adanya putusan hakim pada tingkat banding di Mahkamah Syar’iyah Aceh terhadap terdakwa pemerkosaan.
Untuk membuat terang sebuah perkara tentunya diperlukan upaya-upaya tak terkecuali keterlibatan profesi lainnya, antara lain Psikologi Forensik.
Dalam proses hukum yang dilakukan, psikologi forensik memiliki peran yang cukup signifikan. Psikologi Forensik adalah bidang dari ilmu Psikologi yang berkaitan dengan bidang hukum, yang berkaitan dengan faktor kognitif, afektif maupun perilaku terhadap proses hukum.
Psikologi Forensik memberikan layanan psikologi dalam sistem hukum dengan tujuan membantu proses hukum untuk mewujudkan keadilan bagi para pihak, sehingga kliennya Psikologi Forensik bukanlah korban ataupun pelaku, namun adalah Keadilan.
Psikologi Forensik berperan pada tiga tahapan dalam proses hukum, yaitu (1). Pra Ajudikasi yang meliputi proses penyidikan dan penyelidikan yaitu melakukan kriminal profiling (menyusun profil kriminal dari pelaku), otopsi psikologi, wawancara investigasi pelaku dan melakukan wawancara korban dan para saksi. Tahapan berikutnya (2).
Ajudikasi yang meliputi proses hukum di Pengadilan, yang mana Psikologi Forensik dapat memberikan keterangan sebagai ahli Psikologi. Tahapan berikutnya (3). Pasca Ajudikasi, yang mana Psikologi Forensik dapat membantu intervensi warga binaan pemasyarakatan dan bagaimana melakukan tindakan pencegahan terjadinya perilaku kriminal berulang.
Adapun metode pemeriksaan yang dapat dilakukan oleh Psikologi Forensik adalah Observasi, Wawancara dan Tes Psikologi. Sumber data yang dapat digunakan berdasarkan hasil pemeriksaan Psikologi Forensik adalah dari (1). Subjek; (2). Informan; (3). Dokumen tertulis seperti buku harian; pesan elektronik dll ; (4). Dokumen tidak tertulis seperti perhiasan yang dipakai, luka, memar dll).
Penjelasan ini menunjukkan bahwa Psikologi Forensik dapat menggunakan berbagai metode pemeriksaan dan sumber data untuk memperoleh hasil yang valid. Artinya, data yang digunakan oleh Psikologi Forensik bukanlah data tunggal.
Dalam proses hukum berbagai perkara pidana tak terkecuali perkara pemerkosaan yang sedang menjadi pusat perhatian saat ini, diperlukan peran penting Psikologi Forensik yang memainkan perannya sesuai dengan fungsi dan kewenangannya.
Dalam proses hukum yang berjalan, dimungkinkan terdapat dinamika informasi dan keterangan yang berbeda dari para saksi. Menurut Ancok (1995), terdapatnya ketidaksesuaian keterangan dapat bersumber pada (1). Adanya keterbatasan kemampuan kognitif saksi dalam mengolah, merekam dan mengingat informasi; (2).
Kemudian adanya bias persepsi penyidik di dalam menilai kebenaran kesaksian; (3). Metode dan cara penggalian kesaksian oleh penyidik. Sementara itu Kapardis (1977) menjelaskan bahwa kebenaran kesaksian dapat dipengaruhi oleh tiga hal yaitu perhatian, persepsi dan memori.
Dalam rangka memberikan keadilan, maka para aparat penegak hukum memerlukan keterangan dari para saksi, korban maupun tersangka karena tidak melihat secara langsung peristiwa tersebut, namun terkadang berbagai keterangan yang telah diberikan belum dapat sepenuhnya memberikan informasi yang jelas yang dapat disebabkan memori dan tekanan yang dialami oleh berbagai pihak, karenanya diperlukan kontribusi psikologi untuk mengurangi bias informasi yang terjadi dengan metode pemeriksaan yang tepat.
Mari kita bekerja bersama untuk mewujudkan keadilan demi kesejahteraan masyarakat.
Penulis : Haiyun Nisa, S.Psi., M.Psi.,Psikolog, Ketua Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR) Perwakilan Aceh dan Staf Pengajar Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala.
Discussion about this post