Teknologi EBT saat ini menyisakan permasalahan efisiensi.
KONTRASACEH.ID, Oleh : MIRZA ROLAND, Dewan Pakar IABIE, Praktisi Migas dan Energi Terbarukan
Salah satu isu ketahanan energi nasional adalah energi listrik. Tarik ulur antara penetapan tarif dasar listrik (TDL) yang pantas dan jumlah subsidi, merupakan salah satu pekerjaan rumah pemerintah yang belum kunjung terselesaikan.
Ibarat memakan buah simalakama, TDL diturunkan mengakibatkan subsidi meningkat, tetapi bila subsidi diturunkan, TDL meningkat dan membuat rakyat kecil menderita.
Subsidi listrik lebih dari Rp 50 triliun setiap tahunnya belum mampu dikurangi, dengan bertambahnya pelanggan PLN setiap tahun dan biaya energi listrik yang makin meningkat. Contohnya, untuk pelanggan golongan 450 VA yang jumlahnya lebih dari 23 juta rumah tangga atau sekitar 30 persen total pelanggan PLN. Golongan ini penyumbang terbesar subsidi listrik dengan nilai subsidi 2,5 kali lipat dari nilai tarif yang
Kalau melihat dari Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), target bauran EBT 23 persen pada 2025, masih sangat jauh dari realisasi yang saat ini masih di bawah 10 persen.
Salah satu solusinya, menambah porsi sumber energi primer dari sumber energi baru terbarukan (EBT), yang baurannya masih tergolong kecil daripada sumber energi fosil lainnya.
Apakah strategi ini bisa membantu dalam mengatasi permasalahan tersebut? Atau hanya mengurangi ketergantungan pada energi fosil (minyak, gas, dan batu bara) yang kian menipis?
Kalau melihat dari Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), target bauran EBT 23 persen pada 2025, masih sangat jauh dari realisasi yang saat ini masih di bawah 10 persen. Pengembangan EBT juga terasa sangat lambat karena berbagai hal.
Pertanyaan klasik soal EBT, selain mendapatkan energi ramah lingkungan, apakah dapat mengurangi biaya produksi listrik? Air, matahari, angin, dan panas bumi adalah sebagian dari jenis EBT, tetapi masih belum optimal dikembangkan.
Tentu saja, setiap jenis sumber energi tersebut memiliki berbagai kelebihan dan kelemahannya sehingga kita masih terlena, dimanjakan energi fosil yang sampai saat ini relatif lebih mudah didapatkan.
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) adalah jenis pembangkit listrik nonfosil yang sudah cukup dikenal. Namun, jenis ini membutuhkan biaya investasi cukup besar, terutama dalam pembangunan infrastrukturnya.
Ada beberapa sumber lainnya yang belum dimasukkan kategori EBT. Di antaranya, nuklir, arus laut, dan magnet.
Pembangkit Listrik Tenaga Surya butuh ruang cukup besar dibandingkan output yang dihasilkan. Harganya pun relatif masih mahal. Namun, perkembangan teknologi membuatnya semakin efisien.
Pemeliharaannya tidak mahal, tapi membutuhkan perhatian khusus. Sinar matahari pun terbatas pada pagi dan siang hari. Pembangkit listrik jenis ini membutuhkan baterai cukup besar, untuk penyimpanan energinya bagi keperluan pada malam hari.
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) juga memiliki beberapa batasan. Kecepatan angin yang tidak konstan dan hanya dapat diterapkan di daerah-daerah tertentu, membatasi keefektifan dari jenis pembangkit ini.
Selain itu, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi cukup berlimpah sumbernya di negara kita yang berada di ring of fire dunia.
Namun, nilai investasi yang sangat tinggi pada awal dan masa pengembangan yang cukup lama sebelum produksi menyebabkan jenis energi ini kurang diminati investor, walaupun biaya operasionalnya relatif murah.
Ada beberapa sumber lainnya yang belum dimasukkan kategori EBT. Di antaranya, nuklir, arus laut, dan magnet. Pembangkit listrik tenaga nuklir masih menyisakan polemik cukup besar di masyarakat kita, dan butuh keberanian politik yang cukup besar untuk memulainya.
Arus laut sangat berlimpah di negeri kita, tetapi sangat disayangkan pengembangan teknologi ini masih belum terdengar diterapkan secara komersial di sini.
Magnet belum dikenal secara luas dan suatu sumber alami yang masih belum tersentuh. Beberapa jenis magnet dapat bertahan selama 50-100 tahun, yang dapat diubah menjadi energi listrik.
Mengapa pengembangan EBT masih jauh dari target? Sebenarnya, perhitungannya sederhana. Apabila harga per kwh EBT bisa di bawah harga per kwh energi fosil, otomatis bauran EBT meningkat secara signifikan.
Jauh lebih baik insentif diberikan pada riset dan pengembangan teknologi EBT, daripada menambah subsidi dari harga jual akhir.
Selama ini, masih banyak EBT yang harga jual listriknya di atas nilai keekonomisan sehingga membutuhkan tambahan subsidi. Riset dan pengembangan teknologi energi primer dari EBT yang masih minim, menyebabkan perkembangan teknologi ini masih berjalan lambat.
Teknologi EBT saat ini, menyisakan permasalahan efisiensi. Insentif yang minim membuat pelaku usaha enggan mengembangkannya. Pada akhirnya, bauran yang ditargetkan semakin susah dicapai, padahal sumber energi dari fosil semakin menipis.
Solusinya sederhana. Riset dan pengembangan teknologi EBT harus difokuskan agar menghasilkan energi berbiaya murah. Artinya, depresiasi nilai investasi awal ditambah biaya operasional, bila dikonversikan menjadi biaya per kwh harus lebih murah dari biaya per kwh energi yang berasal dari fosil.
Jauh lebih baik insentif diberikan pada riset dan pengembangan teknologi EBT, daripada menambah subsidi dari harga jual akhir.
Dengan teknologi EBT berbiaya murah, otomatis subisidi berkurang signifikan dan TDL pun dapat berkurang. Pada akhirnya, berkurangnya TDL melahirkan multiplier effectuntuk pertumbuhan ekonomi nasional.
Dikutip : https://www.republika.id/posts/12323/insentif-riset-ebt
Discussion about this post